"Angin, Kemangakah bungaku?"
"Ia jauh sekali kumbang. Akankah aku sampaikan salammu?" Jawab angin.
"Tak perlu kumbang, aku hanya ingin tahu kondisinya, dan aku hanya ingin tahu keberadaannya, aku hanya ingin tahu dia. Aku merindu dan menghawatirkannya angin.! Bisakah engkau beri tahu aku bagaimana dia sekarang"
"Kumbang, dia ada di negeri yang jauh di sana. Di negeri entah berentah namanya. Aku tak tahu batinnya namun aku tahu fisiknya, dia menjalani kehidupannya yang aku tak tahu bagaimana. Namun apakah engkau ingin aku menanyakannya pada Bunga?" Tanya balik angin..
"Cukuplah kau disana angin, lihat dan ceritakan apa yang kau lihat dan jangan tanyakan apa yang ia rasakan. Karena kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga, tapi penderitaannya itu menjadi duri yang ada di hatiku. Cukuplah aku merindu dan mengharap tuhan mempercepat waktu agar rinduku terbalas kembali." Kumbang pun melamun dan menengadah ke langit. Seakan ia ingin menulis puisi di batu. Agar dunia tahu kerasnya hidup ini.
Mentari pagi kini menjadi siang.
Malaikat subuh kini tak dirasakan.
Hanya kehadiran tuhan yang selalu menguatkan.
Aku butuh hujan dan panas mentari.
Namun kini Aku kehilangan bunga.
Aku simpan cinta bak mutiara berharga
Namun aku tak tahu kapan akan berguna.
Sayapku mulai tumbuh dewasa.
Mengepak deras di udara, Seolah bisa kemana saja.
Mengepak deras di udara, Seolah bisa kemana saja.
Namun terkadang letih, ingin ku bersinggah.
Namun bungaku entah dimana.