"Kapankah Indonesia Memiliki Pemimpin Seperti
Sa'id Bin Amir Al-Jumahi, seorang tokoh pemimpin yang memikirkan rakyat
dengan takut pada Allah akan tuntutan Ummatnya di Hari Akhir...
Seorang sahabat yang membeli Akhirat dengan Dunianya..."
SEBELUM memeluk
Islam, Sa'id bin Amir mempunyai pengalaman yang amat mengesankan. Begitu
mengesannya, sampai dibawa pengalamannya itu saat ia diangkat
menjadi gubernur di Himsh oleh Umar bin Khathab.
Pengalamannya itu sangat memberikan nuansa tersendiri terhadap pola
hidupnya selanjutnya.
Ketika itu suasana
sehabis Perang Badar. Umumnya masyarakat Makkah masih
diliputi rasa kecewa, mendongkol, dan balas dendam yang menggigit
terhadap orang-orang Islam yang dari segi kuanti tas, hanya berjumlah
tiga ratus prajurit lebih sedikit.
Namun dalam kenyataannya
dapat berhasil mengalahkan pasukan Quraisy yang jumlahnya lebih
tiga kali lipat dengan didukung oleh persen jataan dan logistik yang lebih
canggih. Bagaimana mungkin?! Namun kenyataannya telah berbicara
bahwa pasukan Islam yang berjumlah sepertiga kaum
Quraisy itu telah memenangkan perang dengan gilang-gemilang. Publik opini
masyarakat Quraisy saat itu (paska Badar) diliputi oleh kekecewaan
mendalam dan rasa ingin balas dendam. Itulah sebabnya ketika
seorang Muslim tertangkap oleh kaum Quraisy padahal ia itu termasuk
salah seorang anggota pejuang perang Badar, mereka sedikit dapat
merasakan kepuasan. Dengan sewenang-wenang mereka memperlakukan
prajurit tertawan, Khubaib bin Adi, dengan segala yang dimauinya.
Disiksa, dipermal ukan dan pada akhirnya dibunuh sadis.
Saat pelaksanaan
eksekusi, kota Makkah amat ramai dipenuhi oleh orang-orang yang ingin
menyaksikannya dari dekat. Salah seorang yang ikut menyaksikan
kejadian itu adalah Sa'id bin Amir yang waktu itu masih kafir. Ia
dengan kekuatannya yang lebih (ekstra), dapat berhasil maju di depan panggung,
setelah dengan susah payah berdesak-desakan dengan para penonton.
Adegan yang paling
menarik bagi Sa'id adalah ketika Khubaib sudah akan dieksekusi, dia tampak
tenang. Bahkan ia masih sempat memin ta waktu dan kesempatan untuk melakukan
shalat dua rakaat. Sete lah permintaan ini dipenuhi, ia ditanya oleh
tokoh-tokoh Quraisy, katanya, "Wahai Sa'id, bagaimanakah pendapatmu
jika kedudukanmu ini digantikan oleh pemimpinmu Muhammad? Sedangkan
engkau dapat bergerak bebas melakukan apa yang engkau sukai?"
Dengan tenang
Sa'id menjawab, "Saya tidak rela apabila
saya sekeluarga bebas dari penderitaan ini sementara Nabi Muhammad saw
terkena penderitaan. Tak peduli sekecil apa pun penderitaan itu, misalnya
beliau terkena duri sekalipun! Apalagi menempati posisi saya untuk dibunuh.
Saya tidak akan rela buat selama-lamanya."
Jawaban yang tenang lagi
mantap itu bukan saja mengagetkan tokoh- tokoh Quraisy, tetapi lebih-lebih
lagi mengejutkan Sa'id bin Amir. Ia amat hormat
terhadap pernyataan Khubaib, di mana ia telah memperlakukan
pemimpinnya secara hormat penuh takdzim. Dalam lubuk
hatinya, ia berkata, "Bagaimana seorang pemimpin
dicintai oleh pengikutnya sedemikian rupa, sehingga
melebihi cintanya terhadap dirinya sendiri?"
Setelah itu, Khubaib
dieksekusi secara beramai-ramai. Ada tombak, panah, klewang, dan
senjata-senjata lain ditikamkan dalam tubuh nya. Sa'id sangat
terkesan dengan ketenangan Khubaib yang luar biasa rela menghadapi
musibah besar dengan lapang dada. Jauh di lubuk hatinya tersimpan
pertanyaan yang menggoda, "Jenis ajaran apakah yang diberikan oleh sang
pemimpin kaum Muslimin itu kepada umatnya, sehingga umat betul-betul menjadi
orang pilihan, berani menghadapi segala risiko berat dengan tenang?"
KURANG lebih 13 tahun
sesudah kejadian itu berlalu, pemerintahan beralih kepada Khalifah
Umar bin Khathab. Ia terkenal selektif dalam memilih amir-amir
(gubernur-gubernur) yang diangkat. Dipi lihnya orang-orang yang kurang
ambisi terhadap jabatan, bersifat lurus, amanah, dan dekat dengan rakyat.
Syarat-syarat itu rupanya sesuai dengan pribadi Sa'id bin Amir. Untuk itu
khalifah ingin mengangkatnya menjadi pembantunya sebagai amir
di Himsh, daerah Syam.
Ditemuinya Sa'id,
kepadanya dikatakan, "Wahai Sa'id, saya ingin mengangkat
engkau sebagai penguasa di daerah Himsh, bagaimana
pendapatmu?"
Sa'id yang tidak pernah
membayangkan jabatan itu, berusaha meno lak. Katanya, "Wahai Amirul
Mukminin, perkenankanlah saya tetap menjadi orang biasa, agar tetap dapat
berkonsentrasi ke akhirat. Saya khawatir dengan jabatan baru ini, saya
akan mudah berpaling dari akhirat menuju dunia."
Mendengar jawaban itu
Umar marah. "Celakalah engkau wahai Sa'id! Engkau telah berlaku tidak
adil. Bagaimana tidak? Engkau memberi kan jabatan berat di atas pundakku
sementara engkau berlepas diri darinya. Dukungan jenis/model apakah ini?"
Akhirnya Sa'id tidak
dapat menolak lagi, jawabnya, "Wahai Amirul Mukminin! Demi Allah,
saya tidak akan membiarkan Anda sendirian dalam memikul beban berat
itu. Saya dengan kemampuan yang ada akan berusaha membantu Anda."
Dari kejadian itu, Sa'id
kemudian diangkat Umar menjadi Gubernur di Himsh. Namun ia
termasuk gubernur yang unik. Gubernur yang amat sederhana. Hal ini
terungkap ketika terjadi pertemuan segi tiga antara Khalifah Umar yang
sedang melakukan inspeksi, rakyat di wilayah Himsh, dan Sa'id sebagi
gubernurnya.
Khalifah bertanya
kepada khalayak, "Coba sebutkan terus-terang apa yang menjadi
keberatanmu terhadap gubernurmu?"
Jawab mereka, "Ada
beberapa hal yang kami merasa keberatan terha dap kinerja gubernur. Pertama, ia
baru mau keluar setelah mata hari telah tinggi. Kedua, ia tidak bersedia
menerima kami pada malam hari. Ketiga, ia seringkali
tanpa kami ketahui sebab- musababnya mendadak jatuh pingsan."
Khalifah Umar berpaling
kepada Gubernur Sa'id bin Amir, "Jawablah keberatan-keberatan mereka itu
dengan benar."
Sa'id kemudian
bangkit memberikan jawaban. "Terhadap keberatan pertama, saya
katakan bahwa saya tidak mempunyai pembantu sama sekali. Apa pun
pekerjaan rumah yang ada kami kerjakan sendiri bersama isteri. Saya lebih
dulu harus menanak bubur, menjerang air, dan melakukan persiapan-persiapan
yang lain sebelum keluar menemui mereka.
Adapun terhadap
keberatan kedua, saya memang sejak awal berprinsip, apa pun yang
terjadi kami ingin mencapai kebahagiaan di akhirat lebih daripada
di dunia. Sebab itulah kebahagiaan yang sesungguhnya dan
abadi. Untuk itu, masalah dinas telah kami
sediakan waktu untuk siang hari. Sedangkan untuk malam harinya, kami
menyediakan diri untuk beribadah kepada Allah semata.
Mengenai keberatan
ketiga, bahwa saya sering pingsan, saya akui. Sebetulnya ini
berhubungan dengan pengalaman traumatik saya sebelum
Islam di Makkah. Yakni ketika menyaksikan penderitaan
Khubaib disiksa oleh orang-orang Quraisy. Setelah melecut sadis dan
menyayat-nyayat tubuhnya, mereka akhirnya membunuhnya tanpa rasa dosa.
Sementara saya ada di depannya, tidak dapat berbuat apa-apa; hanya
termangu-mangu dan terpaku di tempat.
Setiap kali saya
mengenang dan mengingat peristiwa Khubaib yang disiksa sadis, sementara saya
tidak berbuat apa pun, saya merasa berdosa besar dan sulit
diampuni. Itulah sebabnya saya pingsan setiap kali teringat
peristiwa traumatik itu."
Mendengar jawaban lugas
Sa'id itu, Khalifah Umar merasa terharu. Jawaban polos apa
adanya itu dapat diterima. Khalifah merasa bahwa Sa'id
bin Amir, gubernurnya di Himsh, telah melakukan
pekerjaannya dengan baik. Dia tetap lurus, amanah, dekat dengan rakyat,
dan dekat dengan Allah. Tidak tenggelam dalam godaan-
godaan duniawi.